Para sosiolog mengajukan berbagai macam pandangan
seputar perkembangan keyakinan-keyakinan syirik di masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan silih-berganti. Akan tetapi, pandangan dan penafsiran itu
tidak berdasarkan dalil yang valid.
Ada kemungkinan bahwa faktor pertama kecenderungan
syirik dan keyakinan pada banyaknya tuhan adalah tatkala seseorang melihat
beragamnya realitas-realitas di langit dan bumi. Dari itulah mereka
berkeyakinan bahwa setiap bagian realitas tunduk di bawah pengaturan Tuhan
tertentu. Sebagian dari mereka percaya bahwa seluruh kebaikan bersumber dari
Tuhan kebaikan, dan seluruh keburukan berasal dari Tuhan keburukan. Berangkat
dari sinilah mereka yakin bahwa alam semesta ini memiliki dua sumber wujud dan
pencipta.
Demikian pula pengamatan mereka terhadap pengaruh
sinar matahari, bulan dan bintang-bintang terhadap realitas bumi, sehingga
mereka—dari satu sisi—memandang bahwa benda-benda tersebut memiliki suatu
bentuk pengaturan terhadap apa yang ada di bumi. Dari sisi lain, kecondongan
manusia untuk menyembah sembahan yang dapat diindra mendorong mereka untuk
membuat berbagai lambang dan simbol bagi tuhan-tuhan yang mereka anggap untuk
kemudian mereka sembah. Lambang itu lambat laun mendarah daging di hati
orang-orang yang pikirannya lemah. Selanjutnya, setiap bangsa bahkan suku
membuat ritual keagamaan tertentu—sesuai dengan anggapan mereka—untuk menyembah
lambang tersebut.
Dengan cara itulah mereka dapat memenuhi desakan fitrah
(menyembah Allah) dari dalam diri mereka.
Lebih dari itu, mereka pun memenuhi
tuntutan-tuntutan hewani dan hawa nafsunya dalam bentuk kesucian agama. Sebagian
dari ritual-ritual keagamaan tersebut masih berlanjut hingga sekarang, yang
disertai dengan berbagai macam tarian, nyanyian, minum khamar, hubungan seks
dan perilaku hewani lainnya yang semuanya mewarnai suasana ritual keagamaan
para penyembah lambang tersebut.
Di samping itu semua, adanya tujuan para penguasa
zalim, congkak dan tamak, yang sengaja ingin memanfaatkan keyakinan dan
pemikiran masyarakat awam demi memenuhi ambisi busuk mereka, mengokohkan dan
memperluas daerah kekuasaan mereka. Untuk tujuan itulah mereka menebarkan
keyakinan-keyakinan syirik, menurunkan pengaturan alam di bawah kuasa mereka,
dan menjadikan raja-raja yang zalim sembahan dan bagian dari upacara keagamaan.
Kenyataan ini tampak begitu jelas pada raja-raja dan sultan-sultan di Cina,
India, Iran, Mesir dan negeri-negeri yang lain.
Dengan demikian, keyakinan-keyakinan dan
dasar-dasar syirik itu sudah tumbuh di tengah umat manusia karena faktor yang
beragam. Lalu, keyakinan-keyakinan itu tersebar luas sehingga menjadi kendala
bagi proses kesempurnaan hakiki umat manusia; proses yang hanya dapat dicapai
melalui ajaran Ilahi dan Tauhid. Maka itu, para nabi mengerahkan sebagian besar
tenaganya untuk memberantas syirik, sebagaimana konfrontasi antara hak dan
batil ini banyak disinggung oleh Al-Qur’an.
Pada dasarnya, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar
syirik itu bertumpu pada kepercayaan adanya pengatur alam selain <<<<<<<<<<<< ALLAH SWT. Di
samping itu, banyak kaum musyrik yang percaya bahwa pencipta alam semesta
adalah satu. Nyatanya, mereka mempercayai konsep Tauhid dalam penciptaan. Namun
pada waktu yang sama, mereka pun meyakini adanya tuhan-tuhan sebagai pengatur
alam secara mandiri, dan mereka juga menamakan Tuhan Pencipta sebagai “Tuhan di
atas tuhan-tuhan pengatur”.
Sebagian mereka menganggap bahwa tuhan-tuhan
pengatur itu adalah malaikat. Musyrikin Arab percaya bahwa tuhan-tuhan pengatur
itu adalah putri-putri Allah, sebagian lain percaya bahwa mereka itu adalah
jin, ada pula yang percaya bahwa mereka itu adalah ruh bintang-bintang atau ruh
orang-orang terdahulu atau bentuk-bentuk maujud yang abstrak.
Pada pelajaran 10, kami telah mengisyaratkan adanya
kaitan yang erat antara penciptaan (Khaliqiyah) dan pengaturan (Rububiyah)
yang hakiki. Sehingga keimanan pada penciptaan dan pengaturan itu tidak dapat
dipisahkan sama sekali, dan keimanan pada Allah sebagai pencipta tidak sejalan
dengan kepercayaan kepada selain Allah sebagai pengatur. Mereka yang memiliki
keyakinan seperti ini belum menyadari adanya kontradiksi di dalamnya. Untuk menyanggah
keyakinan mereka, cukuplah dengan mengangkat poin kontradiksi tersebut.
Sebenarnya banyak sekali dalil atas Tauhid kepada
Allah yang telah dipaparkan di berbagai kitab Teologi dan Filsafat. Di sini,
kami hanya akan membawakan satu dalil yang secara langsung menunjukkan Tauhid
dalam pengaturan, sekaligus menyanggah keyakinan-keyakinan kaum musyrik.
Argumen atas Tauhid
kepada Allah
Sesungguhnya kemestian banyaknya tuhan bagi alam
semesta ini tidak keluar dari asumsi berikut ini: Pertama: Kita memestikan
bahwa setiap realitas alam ini merupakan akibat dan diciptakan oleh seluruh
tuhan tersebut.
Kedua:
Setiap unit atau kelompok realitas alam ini adalah akibat dan diciptakan oleh
satu di antara tuhan-tuhan.
Ketiga:
semua realitas di alam ini diciptakan oleh Tuhan Yang Esa, sementarta
tuhan-tuhan yang lain berperan sebagai pengatur mereka.
Asumsi bahwa setiap realitas alam ini memiliki
banyak tuhan sebagai pencipta adalah mustahil. Sebab, keyakinan ini berarti
memestikan ada dua tuhan atau lebih sebagai pencipta (baca: sebab-pewujud).
Yakni, bahwa setiap tuhan itu memberi wujud kepada setiap realitas alam.
Konsekuensinya, setiap realitas itu memiliki tuhan-tuhan sebanyak bilangan yang
diasumsikan, sementara setiap realitas hanya memiliki satu wujud saja. Karena
jika tidak demikian, setiap realitas tidak lagi satu.
Adapun asumsi bahwa setiap tuhan menciptakan satu
makhluk atau sekelompok makhluk tertentu, berarti bahwa masing-masing makhluk
itu bergantung hanya kepada penciptanya saja dan tidak butuh kepada maujud yang
lain, kecuali dalam hal-hal yang kebutuhannya itu berakhir kepada penciptanya.
Dan ini merupakan kebutuhan yang khas bagi makhluk-makhluknya.
Dengan kata lain, asumsi kedua itu melazimkan pula
adanya sistem yang banyak di dalam alam, dan setiap sistem itu mandiri dan
terpisah dari yang lain, padahal alam ini hanya memiliki satu sistem.
Sebagaimana terdapat hubungan di antara realitas-realitas alam pada satu zaman,
yang setiap mereka butuh kepada yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada
hubungan di antara realitas-realitas sebelumnya dengan realitas-realitas yang
sedang berlangsung. Demikian juga antara realitas-realitas yang sedang
berlangsung dengan yang berikutnya dan setiap realitas yang lalu merupakan
prasyarat bagi wujud berikutnya. Dengan begitu, alam yang terdiri dari
bagian-bagian ini saling berhubungan dan berkait diatur oleh satu sistem yang
tidak mungkin sebagai akibat dari beberapa sebab pengada.
Adapun asumsi bahwa pencipta seluruh makhluk adalah
Tuhan Yang Esa, sedangkan tuhan-tuhan yang lain bertugas mengatur alam,
tidaklah benar. Karena seluruh wujud dan aktifitas setiap akibat itu bergantung
kepada sebab yang mengadakannya, dan tidak ada celah bagi maujud mandiri apa
pun untuk ikut campur dalam urusan tersebut, selain interaksi antara sesama
akibat-akibat dari satu sebab; yang tentunya seluruh akibat ini tunduk kepada
sebab pengada mereka, tidak keluar dari wilayah kekuasaan-Nya, dan satu pun
tidak akan terjadi kecuali dengan izin cipta-Nya.
Dengan demikian, tuhan-tuhan itu—selain Tuhan
Pencipta dan Pewujud—bukan tuhan dalam arti yang sebenarnya. Karena, makna
Tuhan yang sebenarnya adalah Dzat yang dapat memperlakukan segala makhluk-Nya
secara mandiri. Sedangkan pada asumsi di atas, tuhan-tuhan itu tidak mandiri
dalam pengaktifkan kekuasaan mereka, bahkan mereka itu adalah serpihan dari rububiyah
Pencipta Sejati dan menjadi aktif dengan kekuatan yang Dia berikan kepada
mereka. Tanpa anugerah-Nya, segala aktifitas apa pun tidak akan terwujud.
Maka itu, asumsi adanya tuhan-tuhan pengatur alam
tidak menafikan Tauhid Rububiyah (tauhid dalam pengaturan), sebagaimana suatu
penciptaan yang terjadi dengan izin Allah pun tidak menafikan Tauhid
Khaliqiyyah-Nya. Di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis, terdapat ungkapan yang
menun-jukkan ketetapan penciptaan atau pengaturan vertikal (taba’i) dan
tidak mandiri pada sebagian hamba-hamba Allah. Sekaitan dengan ihwal Nabi Isa
as, Allah SWT berfirman:
“Dan ingatlah ketika kamu menciptakan dari tanah
seperti bentuk burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniupkan padanya, lalu
ciptaan itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan izin-Ku.” (QS. Al-Maidah: 110)
Di ayat lain Allah SWT berfirman:
“Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur suatu
urusan.” (QS. An-Nazi’at: 5).
Alhasil, dugaan tentang kemungkinan adanya
tuhan-tuhan bagi alam ini muncul dari menyerupakan Allah dengan sebab-sebab
material dan sebab-sebab penyiap, sehingga dapat dikatakan bahwa tuhan itu bisa
berbilang bagi satu akibat. Akan tetapi, kita tidak mungkin dapat menyerupakan
sebab pewujud dengan sebab-sebab tersebut, atau mengasumsikan diwujudkannya
suatu akibat oleh sejumlah sebab pewujud dan sebilang pengatur yang mandiri.
Jadi, untuk menyanggah dugaan tersebut, kita mesti
berpikir lebih dalam tentang konsep sebab pengada dan ciri-ciri khasnya
sehingga kita mengetahui kemustahilan berbilangnya sebab bagi satu akibat.
Demikian pula kita mesti perhatikan saling terkaitnya sesama realitas alam,
tampak jelas bahwa sistem yang saling terpadu di alam semesta ini tidak mungkin
diciptakan oleh banyaknya tuhan atau tunduk pada pengaturan banyaknya pengatur
yang mandiri.
Dari penjelasan di atas menjadi jelas pula bahwa
keyakinan terhadap wilayah takwiniyah (kekuasaan cipta) pada sebagian
hamba yang saleh tidak menafikan keimanan terhadap Tauhid. Akan tetapi, jangan
sampai kita menafsirkan wilayah ini dengan makna penciptaan atau
pengaturan yang mandiri. Sebagaimana keyakinan terhadap wilayah tasyri’iyah
(kekuasaan hukum) pada Nabi saw dan para imam maksum as juga tidak menafikan
pengaturan kekuasaan hukum Allah (tasyri’iyah Ilahiyyah). Karena wilayah
itu diwujudkan oleh Allah, dengan izin-Nya, dan bersumber dari-Nya.[]SUMBER.www.al-shia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar